Jumat, 10 Juni 2011

Pemanasan Global Dampaknya Terhadap Atsmosfer

~ diambil dari KIR SMAN 83  Bekasi ~
“Selimut”, kata ini bisa mewakili fungsi atmosfer bila dilihat dari beberapa segi. Selimut mempertahankan kehangatan untuk tubuh sekaligus menahan desiran udara dingin dari sisi luar. Demikian pula dengan beberapa fungsi atmosfer bumi yang tersusun dari berbagai macam gas. Gas-gas rumah kaca (greenhouse gases) berfungsi mempertahankan temperatur di permukaan bumi pada tingkat yang sesuai untuk kehidupan sedangkan gas ozon di lapisan stratosfer berfungsi menapis sinar Ultra Violet B & C yang dipancarkan matahari. Selain kedua fungsi tersebut, atmosfer kita masih memiliki beberapa fungsi lain, diantaranya: membakar meteor yang memasuki wilayah atmosfer bumi ・sehingga bumi tidak menjadi sasaran empuk bombardir meteor, menyediakan oksigen untuk pernafasan makhluk hidup, menyediakan karbon dioksida untuk keperluan tumbuhan, hingga memunculkan fenomena pelangi yang dikagumi. Aliran udara melewati sayap pesawat terbang menghasilkan gaya angkat pada pesawat ・fakta keberadaan atmosfer memungkinkan dilakukannya transportasi super cepat melalui udara.
Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya keberadaan atmosfer bagi kehidupan makhluk di bumi. Namun demikian, salah satu masalah kontemporer utama abad ini adalah sakitnya atmosfer kita. Dua penyakit akut yang melanda atmosfer kita adalah penipisan lapisan ozon (atau lebih dikenal dengan sebutan ozone hole) dan pemanasan global.

Lubang ozon

Lapisan ozon yang melindungi makhluk di bumi dari sengatan sinar Ultra Violet B & C yang berbahaya. Konsentrasi ozon tertinggi terdapat di lapisan stratosfer yang berjarak 25 – 30 km. Lapisan ozon berada dalam situasi kritis manakala konsentrasinya turun di bawah 220 Dobson Unit (DU). Hipotesis mengenai rusaknya lapisan ozon akibat gas chlorofluoromethane (atau dikenal juga dengan nama chlorofluorocarbon = CFC) pertama kali disampaikan oleh Rowland dan Molina pada tahun 1974 di Jurnal Nature. Verifikasi kerusakan lapisan ozon ini mencapai puncaknya pada tahun 1985 manakala Farman dan kawan-kawan mempublikasikan hasil pengukuran yang menunjukkan rendahnya konsentrasi ozon di atas antartika di jurnal yang sama. Istilah ozone hole berkembang sejak saat itu.

Sinar Ultra Violet B & C merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang yang pendek (yakni antara 200 – 280 nano meter untuk UV C; dan 280 – 320 nano meter untuk UV B). Panjang gelombang sinar Ultra Violet yang pendek tersebut berkorelasi dengan tingginya energi yang dibawa sinar ini. Para ahli kesehatan mengungkapkan bahwa manusia yang terpapar sinar Ultra Violet B & C dengan intensitas yang tinggi bisa terkena penyakit kanker kulit, katarak mata, hingga penurunan sistem kekebalan tubuh. Sinar ini juga akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Intensitas radiasi sinar Ultra Violet B & C juga bisa membunuh plankton yang merupakan santapan ikan ・kurangnya plankton akan berkorelasi langsung dengan keberlangsungan hidup ikan.

Menyadari bahaya kerusakan lapisan ozon, berbagai negara kemudian bersepakat dalam Konvensi Wina (1985) yang selanjutnya menghasilkan Protokol Montreal (1987) untuk mengurangi emisi gas-gas yang berpotensi merusak lapisan ozon. Dua gas utama yang merusak lapisan ozon adalah gas chlorine yang utamanya berasal dari senyawa CFC dan gas bromine yang utamanya berasal dari senyawa methyl bromide dan halon. Pemerintah Indonesia telah turut meratifikasi Konvensi Wina dan Protokol Montreal berikut amandemen-amandemennya melalui beberapa Keputusan Presiden.

Sementara itu, sejak diketemukannya fenomena penipisan lapisan ozon, luas daerah yang memiliki konsentrasi ozon kurang dari 220 DU terus membesar. Untuk Tahun 2004, NASA melaporkan bahwa lubang ozon di atas kutub selatan telah mencapai 28 juta km2, yang berarti lebih dari dua kali lipat luas antartika itu sendiri (atau lebih besar dari daratan Amerika Utara). Jika hal ini tidak segera ditanggulangi, tidak tertutup kemungkinan bahwa lubang ozon ini bisa menjadi malapetaka global bagi kehidupan di muka bumi.

CFC pada umumnya digunakan di sektor pendingin (refrigerasi), busa, pelarut/pembersih (solvent), dan zat pendorong (propellant) seperti pada parfum. Saat ini, pengguna CFC terbesar adalah pada sektor refrigerasi. CFC, seperti R-12 atau Freon 12, masih banyak digunakan pada pendingin udara (AC) kendaraan dan chiller (mesin pendingin udara pada gedung). CFC jenis R-11 juga masih banyak digunakan pada chiller. Masyarakat bisa berperan besar dalam program perlindungan lapisan ozon ini dengan menggunakan produk-produk yang tidak menggunakan CFC. Di Indonesia, pemerintah akan menghentikan import CFC pada akhir tahun 2007. Karena tidak ada satu pun industri yang menghasilkan CFC di tanah air, maka penghentian import CFC akan menyebabkan kelangkaan CFC di dalam negeri. Hal ini perlu segera diantisipasi oleh para pengguna CFC; antara lain dengan menggunakan bahan-bahan non-CFC dan berbagai teknologi yang tidak menggunakan CFC.

Pemanasan Global

Sinar matahari yang berhasil menerobos atmosfer (setelah sebagiannya langsung dipantulkan oleh atmosfer ke angkasa) sebagian akan dipantulkan oleh permukaan bumi ke atmosfer dan sebagiannya lagi akan diserap oleh permukaan bumi. Terserapnya sinar matahari tersebut akan memanaskan permukaan bumi dan menyebabkan permukaan tersebut mampu memancarkan energi ke atmosfer (berupa sinar infra merah yang memiliki panjang gelombang relatif besar, sekitar 5 ・20 mikro meter). Keberadaan Gas Rumah Kaca (GRK) menyebabkan tidak semua sinar infra merah yang dipancarkan bumi bisa lolos ke angkasa; sebagian besar sinar tersebut diserap oleh GRK dan selanjutnya dipancarkan kembali ke permukaan bumi. Proses tersebut berulang dan menyebabkan kenaikan temperatur bumi. Gas Rumah Kaca (GRK) pada dasarnya berfungsi menjaga temperatur bumi pada tingkat yang seusai untuk kebutuhan makhluk hidup. Ketiadaan, atau kurangnya, GRK akan menyebabkan temperatur di permukaan sebuah planet akan sangat rendah (seperti permukaan Mars yang memiliki temperatur rata-rata -50oC); namun terlalu banyak GRK juga akan menyebabkan kenaikan temperatur (seperti permukaan Venus yang temperatur rata-ratanya 420oC). Syukur kepada Allah swt bahwa kecukupan GRK di bumi menyebabkan temperatur rata-rata bumi berada pada kisaran yang sesuai untuk kehidupan, yakni sekitar 15oC (Hamilton, CJ.)

Selimut yang terlalu tebal dan rapat menyebabkan ketidaknyamanan. Lonjakan jumlah GRK di atmosfer bumi tidak saja menimbulkan ketidaknyamanan, namun berpotensi menyebabkan bencana global. Dalam Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim, beberapa jenis gas telah diidentifikasi sebagai GRK, yakni karbondioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perfluorokarbon (PFCs), dan hidrofluorokarbon (HFCs). Ditinjau dari konsentrasinya, GRK yang dominan adalah CO2, N2O, dan CH4. CO2 umumnya dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (batubara, BBM, dan gas) di berbagai sektor (industri, transportasi, dan rumah tangga). Kebakaran hutan juga menyumbang produksi CO2 yang sangat besar. CH4 umumnya dihasilkan dari timbunan sampah, perubahan tata guna lahan dan kehutanan, pertanian, dan sektor energi. Sedangkan N2O umumnya dihasilkan dari sektor pertanian (pemanfaatan pupuk dan praktek pertanian).

Pemanasan global telah menyebabkan temperatur rata-rata bumi saat ini mengalami kenaikan hingga sebesar 2oC dibandingkan dengan tahun 1880 (US National Climate Data Center, 2001). Mayoritas ilmuwan saat ini telah bersepakat bahwa pemanasan global tersebut diakibatkan emisi GRK yang dihasilkan dari kegiatan manusia (antropogenik). Efek langsung pemanasan global yang bisa dideteksi secara jelas oleh para ilmuwan adalah mencairnya es di kutub-kutub bumi. Melelehnya es ini akan berdampak langsung terhadap ketinggian muka air laut, kehidupan biota laut, dan bisa mempengaruhi arus laut yang selama ini berfungsi sebagai heat engine untuk daratan Eropa.

Indonesia sebagai negara berkembang yang terletak di khatulistiwa, memiliki resiko yang besar akibat pemanasan global. Secara umum, kemampuan ekonomi dan teknologi di negara berkembang belumlah siap menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh pemanasan global. Menurut IPCC (Inter Governmental Panel on Climate Change), pada tahun 2030 bisa terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 8 ・29 cm dibandingkan dengan muka air laut saat ini. Bila hal ini terjadi, maka dikhawatirkan Indonesia bisa kehilangan sekitar 2000 pulau-pulau kecil yang secara langsung berdampak pada pengurangan luas wilayah Indonesia (Meiviana dkk., 2004). Peningkatan temperatur permukaan bumi juga dikhawatirkan akan menyebabkan pertanian di negara-negara di sekitar khatulistiwa akan terganggu; dikarenakan terjadinya pergeseran temperatur dari kondisi yang sudah optimal saat ini (Mendelsohn dkk., 2006).

Karena pemanasan global terjadi di lapisan troposfer (lapisan atmosfer terdekat dengan kehidupan manusia; tempat terjadinya berbagai fenomena cuaca), maka tidak bisa dipungkiri bahwa pemanasan global juga akan menyebabkan perubahan iklim (climate change). Diprediksikan bahwa perubahan iklim bisa menyebabkan musim kemarau yang semakin panjang serta musim hujan yang semakin pendek periodenya namun dengan peningkatan intensitas curah hujan (Meiviana dkk., 2004). Kedua hal tersebut: musim kemarau yang berkepanjangan serta tingginya curah hujan, sudah dirasakan masyarakat di tanah air. Kemarau panjang menyebabkan kegagalan pertanian dan kekurangan air bersih yang akut di berbagai tempat. Tingginya curah hujan menimbulkan bencana banjir di mana-mana. Beberapa ilmuwan juga mencoba menghubungkan perubahan iklim dengan semakin tingginya frekuensi dan intensitas badai (hurricane) yang terjadi di berbagai wilayah di bumi, utamanya belahan utara dan selatan bumi.

Beberapa masalah kesehatan, seperti penyakit malaria dan demam berdarah, juga ditengarai mengalami peningkatan akibat perubahan iklim (Meiviana dkk., 2004). Kenaikan temperatur bisa menyebabkan lebih singkatnya periode pertumbungan nyamuk yang selanjutnya berperan dalam peningkatan wabah malaria dan demam berdarah.

Melihat bahaya yang bisa ditimbulkannya, sudah sepantasnya bila warga bumi bersegera melakukan berbagai daya upaya agar gangguan terhadap iklim yang dipicu oleh pemanasan global tidak semakin parah. Berbagai anomali cuaca bisa saja terjadi bila perubahan iklim semakin menjadi. Anomali tersebut menyebabkan manusia akan semakin sulit melakukan prediksi terhadap cuaca, yang selanjutnya akan mempengaruhi dunia penerbangan, kelautan, hingga transportasi darat.

Karena GRK didominasi oleh CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, miyak bumi, dan gas alam, maka masyarakat bisa berperan serta dengan melakukan berbagai penghematan; baik penghematan energi ataupun penghematan penggunaan barang-barang (karena pada dasarnya produksi berbagai barang juga memerlukan suplai energi). Peran pemerintah sangat diperlukan dalam melakukan berbagai regulasi di sektor industri, transportasi, dan rumah tangga untuk menjamin terjadinya pengurangan emisi CO2. Sumber-sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan, seperti energi matahari, angin, biofuel, geothermal, biogas, dsb., perlu secepatnya digali dan diimplementasikan.

Kita berharap agar bumi kita yang hanya satu ini masih mampu menampung generasi-generasi manusia di masa mendatang. Oleh karena itulah, merupakan tugas kita bersama untuk menyembuhkan atmosfer kita yang sedang sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar