Kamis, 05 April 2012

"Schooling Culture VS Learning Culture"

 “Orang Indonesia rata-rata menganut Budaya Sekolah (schooling cultur), bukan budaya belajar. (learning cultur)” Demikian ungkap seorang anak yang memilih jalur homeschooling. “ Budaya sekolah itu berarti mereka pergi ke sekolah setiap pagi dan pulang setelah siang atau sore. Namun ketika ditanya apa yang mereka dapatkan di sekolah, mereka bingung menjawabnya karena mereka tidak mempelajari apapun. Beda dengan budaya belajar, walaupun tidak pergi ke sekolah setiap hari, namun setiap hari pengetahuan terus diupdate, karena setiap hari, setiap saat digunakan untuk belajar.” Demikian tambahnya. Rupanya alasan inilah yang digunakannya untuk pindah ke jalur homeschooling.
Learning Cultur, kata seorang ahli kan dikatakan sebagai Long Life Education. Proses pembelajaran memang yang paling baik dan paling ideal ada di sekolah, akan tetapi pada pengertian Learning Cultur, seluruh aktivitas kita, kerling matanya, desah napasnya, ayunan kakinya, adalah proses pembelajaran, sampai titik ini proses pembelajaran amat sangat jarang terimplementasi pada segenap masyarakat kita.
Kalau direnungkan ada benarnya juga bahwa, sekolah tidak selalu identik dengan belajar. Tidak jarang seorang siswa pergi dari rumahnya sejak pagi buta, lengkap dengan seragam dan identitas-identitas sekolahnya. Setibanya di sekolah apa yang mereka lakukan? kadar aktifitas non-belajarnya lebih besar dari pada aktifitas belajanya.  Tidak jarang kita menemukan seorang siswa asik memainkan handphone padahal gurunya sedang menerangkan pelajarannya. Atau mereka asik ngobrol dengan tidak menghiraukan gurunya yang sedang berjuang memahamkan murid-muridnya di kelas. Tidak jarang juga kita menemukan siswa yang pindah tidur dari rumah ke kelas. Fenomena-fenomena tidak belajar ini hanya sebagian kecil dari sekian banyak fenomena tidak belajar yang dilakukan siswa ketika berada di sekolah.
Guru adalah pembelajar sekaligus pendidik. Oleh karena itu, guru tidak hanya bertugas mengajarkan mata pelajaran yang diampunya, tapi juga turut membangun sikap dan mental siswanya. Seorang pemerhati pendidikan sekaligus penulis buku-buku parenting, M. Fauzil Azhim, pernah berkata : “ngapain sih perlu sekolah? kalau cuma ingin pinter ya kursuskan saja, selesai.” Lalu apa alasannya harus sekolah? Beliau melanjutkan: “Kita perlu sekolah untuk mendapatkan sesuatu yang tidak diajarkan di tempat kursus. Yang tidak diajarkan di kursusan adalah bagaimana caranya membangun karakter.”
Salah satu karakter yang perlu dibangun dari seorang siswa adalah karakter/sikap belajar. Selain mengajarkan (to learn) anak, seorang guru perlu juga membelajarkan (learning) anak. Yaitu, menghantarkan anak didiknya menjadi seorang pembelajar (leaner). Pada Generasi kita mungkin Andrie Wongso adalah salah satu contoh manusia pembelajar,  Dia tidak sampai lulus SD. Namun putus sekolah bukan sebagai alasan untuk menjadikan  putus belajar. Hasilnya, sekarang dia menjadi seorang motivator nasional.
Dengan sikap pembelajar yang sudah terbangun dan terinternalisasi pada setiap individu siswa, maka siswa bisa digiring untuk dapat mengekplorasi dan sekaligus mengaktualisasikan ilmunya secara mandiri yang akan menjdikan karakter ilmunya sendiri. Perkembangan teknologi dan informasi saat ini memungkinkan setiap pembelajar dapat mengakses informasi apapun dan mendapatkan ilmu sebanyak yang dia inginkan. Cukup dengan duduk di depan layar monitor, tinggal akses google, wikipedia, dan sejenisnya dan yang dia butuhkan, dia sudah bisa mendapatkan ilmu apapun yang dia inginkan. Untuk sampai pada wilaya itu, jika  learning cultur siswanya sudah terinternalisasi, sudah terbangun menjadi miliknya. Ketika hal itu belum terjadi, jangan salahkan siswa bila siswa tak bisa berbuat apa-apa. Seorang guru yang hanya mengantarkan siswanya hanya sebatas faham dengan pelajarannya, sudah bisa digantikan dengan maka apa bedanya guru dengan “mbah googel”